Jonaha si penipu Ulung


SIJONAHA PENIPU ULUNG*

Oleh: Thompson Hs
Ada seorang anak yatim piatu bernama Jonaha. Di Tanah Karo namanya sering disebut-sebut Jinaka. Sejak kecil dia sudah yatim piatu. Sehingga salah seorang dari pamannya terpaksa mengasuhnya. Dikatakan terpaksa karena paman Jinaka tidak begitu suka dengan keluguan Jinaka. Pamannya juga menganggap dia bodoh untuk dibawa kemana-mana. Paman Jinaka adalah seorang pemain judi dan mencari lawan bermain judi ke berbagai kuta atau kampung. Sifat pamannya yang juga suka memerintah menganggap Jinaka terlalu lamban. Namun ada juga kalanya Jinaka seperti orang jenaka. Kalau pamannya minta dibangunkan lebih pagi dia akan lebih dulu meniru suara ayam berkokok. Lalu pamannya benar-benar bangun
“Jinaka!” Panggil Pamannya suatu kali sebelum berangkat bermain judi. Jinaka belum bangun ketika itu. Lalu berulang-ulang pamannya memanggil, Jinaka baru terbangun. “Kai, Mama? Apa, paman?” Jawab Jinaka sambil malas-malas menggerakkan tubuhnya. “Medak kam, bangun kamu!” Sambung pamannya. “Aku enggo medak, paman,” sambung Jinaka lagi sambil mengusap sesuatu dari hidungnya. “Hayolah, cepat. Pedasken!” Mendengar suruhan pamannya, Jinaka segera berlari entah ke mana. Lalu pamannya menambahi: “Segera siapkan kudaku.”
Beberapa saat Jinaka harus segera mempersiapkan kuda pamannya. Mereka pergi ke tempat berjudi. Namun Jinaka selalu tidak boleh mendekat ke tempat perjudian itu. Dia selalu menunggu perintah pamannya. “Jinaka, kujenda kam. Ke sini kamu,” Pamannya memanggil untuk meminta tempat sirihnya. Paman Jinaka rupanya suka makan sirih. “Mari ke sini tempat sirihku,” pinta pamannya. Namun Jinaka menjawab dengan lugu. “Tadi kulihat terjatuh sewaktu di perjalanan, Mama.”
“Ihhh, kenapa tak kamu ambil kalau sudah lihat terjatuh?” Bentak pamannya.
“Paman tak ada menyuruhku sebelumnya untuk mengambil,” Jinaka cukup menjawabnya sedemikian. Akhirnya dia kena bentak. Di lain kali Jinaka diingatkan untuk mengambilnya kalau terjatuh dari kuda. “Bukan hanya tempat sirihku saja yang harus kamu ambil kalau terjatuh dari kuda,” pesan pamannya. Lalu dengan enteng pamannya tak risau lagi dengan tempat sirih baru yang menggantikan yang hilang itu. Dari tempat perjudian juga pamannya memanggil Jinaka dengan suara keras. “Jinaka, bawa ke sini tempat sirihku!”
Jinaka tergesa-gesa menyerahkan tempat sirih pamannya. Namun tiba-tiba pamannya mencium sesuatu yang bau. “Apa ini, Jinaka?” Pamannya memperhatikan isi tempat sirihnya yang ternyata sudah berisi tai kuda. “Tai kuda, Mama,” jawab Jinaka. Pamannya dengan setengah marah hampir menampar Jinaka dan bertanya-tanya: “Kenapa kamu masukkan tai kuda ke tempat sirihku, Jinaka?” Lalu dengan enteng pula Jinaka menjawab: “Tapi Paman suruh aku mengambil apa saja kalau terjatuh dari kuda kan? Kulihat juga tai kuda itu berjatuhan, ya kuambillah!”
Paman Jinaka tak habis pikir dengan kebodohan bre atau keponakannya itu. Lalu suatu pagi si paman menyuruh Jinaka tinggal saja dengan kuda. “Aku mau jalan sendirian tanpa kamu dan kuda,” kata paman. Namun Jinaka bersikeras tak mau ditinggal. “Kamu tak bisa ikut. Tapi kalau kamu tak berbuat kesalahan lagi bisalah ikut.”
Jinaka berjanji tak akan berbuat kesalahan. Lalu pamannya sedikit tenang dan berpesan kembali. “Nanti kamu tambatkan kudaku di tempat yang hijau dan subur ya.” Jinaka merasa mengerti kalau kuda pamannya cukup ditambatkan sesuai dengan apa yang didengarnya. Kebetulan dia teringat dengan suatu tempat yang luas yang agak jauh dari tempat perjudian. Tempat yang luas itu sedang menghijau dan kelihatan subur. Tak terpikir oleh Jinaka kalau tempat itu adalah sawah. Di sanalah kuda pamannya ditambatkan. Setelah ditambatkannya dia merebahkan diri di bawah sebuah pohon.
Setengah tertidur, Jinaka seperti kena tampar. “Hayo, bangun! Kudamu sudah merusak sawahku.” Seorang ibu kemudian menjewernya. “Itu bukan kudaku. Tapi kuda pamanku,” Jawab Jinaka terkejut. Ibu itupun menarik-narik sebelah kuping Jinaka ke tempat perjudian. “Yang mana mamamu, tunjukkan!” Di tempat perjudian itu ada beberapa orang pria berkumis. Salah seorang adalah paman Jinaka. “Kenakai, Jinaka? Kenapa, Jinaka?” pamannya spontan berdiri. Ibu itu langsung memberondong tuntutannya ke arah paman Jinaka. “Sawahku dirusak. Aku mau minta ganti rugi!” Benar yang dipikir pamannya kalau Jinaka berbuat kesalahan lagi. Sewaktu dia mencoba memanggil Jinaka, si Ibu itu tak henti-henti melancarkan tuntutannya. Jinaka pun merasa ketakutan setelah mengatakan: “Bukan aku yang merusak sawah itu, Mama. Tapi kuuudaaa.” Demikianlah Jinaka mulai menunjukkan rasa takutnya setelah tak mampu tak mengulangi kesalahan. Namun pamannya harus membayar ganti rugi dengan sisa uang dari 200 ringgit untuk modal judi. Untuk melanjutkan permainan judinya paman Jinaka sudah sering meminjam uang. Saat itu juga dipinjamnya uang dari seorang pembeli manusia yang turut berjudi di tempat itu. “Silih, aku tak bisa meminjamkan uangku lagi kepadamu tanpa boroh,” kata pembeli manusia itu. “Tak usah minta boroh. Aku mau langsung menjual Jinaka kepadamu.” Begitulah akhirnya kekesalan paman Jinaka berpuncak. Lalu pembeli manusia itu menyerahkan tambahan 250 ringgit sebelum membawa Jinaka ke kampungnya.
Pembeli manusia itu membeli manusia untuk dijadikan budak-budak. Suatu kali Jinaka dibawanya mencari manusia lain untuk dibeli. “Hei, Jinaka. Apakah kamu akan lari kalau kutinggalkan sebentar di sini?” Pembeli manusia itu bertanya karena selintas dari pandangannya melihat seekor rusa. Jinaka menjawab saja dengan: “Ya, aku akan lari kalau ada kesempatan!” Tangan Pembeli Manusia langsung melayang ke wajah Jinaka mendengar reaksi itu. Kemudian Jinaka diikatkan di bawah pohon sebelum Pembeli Manusia mencari rusa.
Tidak kebetulan pula lewatlah seorang pemburu dari tempat Jinaka diikatkan. “Eh, eh. Kuakap belkih kepe jelme. Kukira rusa rupanya manusia. Hei, anak singuda. Ise gelarndu?” Jinaka merasa mendapat inspirasi mendengar ucapan pemburu rusa itu. Lalu dia berpura-pura menangis. “Eh, eh, anak muda. Siapa namamu? Jangan menangis dulu,” semakin kalimat itu diulangi Jinaka pura-pura menambah tangisannya. “Tolonglah aku,”kata Jinaka. “Aku menolak dijodohkan pamanku dengan putrinya. Kalau aku mau pasti tidak diikatkan di sini.” Mendengar pengakuan Jinaka seperti itu si pemburu rusa agak heran. “Kenapa kamu tak mau dengan putri pamanmu?” Jinaka mencari-cari jawaban yang bisa menarik perhatian si pemburu rusa itu. Akhirnya si pemburu rusa itu mau menggantikan Jinaka diikatkan sampai pembeli manusia muncul kembali.
Jinaka melarikan diri ke Simalungun. Di sana namanya digantikan menjadi Jonaha. “Dob dua bulan ham i Simalungun on, Jonaha. Sinjah pe ham naroh ijonma iananmu tading. Sudah dua bulan kamu di Simalungun ini. Dari manapun kamu datang di sinilah tempatmu tinggal,” begitulah ibu angkat Jonaha di Simalungun meyakinkan agar Jonaha baik-baik membantunya di sawah. Sejak di Simalungun sebuah kecapi dimiliki oleh Jonaha. Sewaktu dia asyik memainkan kecapi, ibu angkatnya menyuruh dia pergi membersihkan sawah. “Sawah kita akan bersih dari rumput-rumput selagi kumainkan kecapi ini, inang,” begitu Jonaha menanggapi suruhan ibu angkatnya. “Percayalah, inang,” tambah Jonaha karena ibu angkatnya benar-benar tak percaya. Namun entah karena apa ibu angkat itu mencoba memeriksa rumput-rumput di sawah.”Jonaha, sudah kulihat juma kita. Benar yang kamu bilang. Sawah kita memang sudah bersih dari rumput-rumput.” Sambil berteriak gembira Jonaha semakin memainkan kecapinya. Dengan alat yang satu itu dia pergi berkeliling ke berbagai kampung untuk meyakinkan banyak orang kalau kecapi itu benar-benar sakti.
Kabar kesaktian kecapi Jonaha tedengar pula ke telinga si pemalas. Dengan segera dijumpainya Jonaha. “Lawe, aku ingin memiliki husapimu.” Jonaha langsung pura-pura menolak. Namun di dalam hatinya ada niat akan memberi kecapi itu kalau si pemalas dapat mengeluarkan emas simpanan istrinya. “Baiklah, lawe. Aku berani menyerahkan emas ini kepadamu,” si pemalas pasrah menyerahkan emas yang dijemputnya dari rumah dan bersemangat menerima kecapi Jonaha. “Tapi tunggu dulu,” potong Jonaha sambil menarik kecapi itu sementara dari tangan si pemalas. “Untuk memainkan kecapi ini ada tiga syaratnya. Pertama, harus diletakkan di atas para-para di rumah. Yang kedua, kecapi ini baru bisa dimainkan setelah tiga hari tiga malam disimpan.”
“Dan syarat ketiga?”
“Jaga kecapi ini agar jangan dimainkan oleh anak-anak,” lanjut Jonaha. Si pemalas dengan bersemangat menerima kecapi itu setelah dibungkus Jonaha dengan potongan kain berwarna merah. Dua hari kemudian Jonaha mencoba jalan-jalan ke tempat mangkal si pemalas di sebuah kedai. Si pemalas kelihatan sedang bermain catur. Namun tiba-tiba kedengaran suara kecapi dengan bunyi yang tidak teratur. “Suara husapi siapa itu, lawe?” tanya Jonaha. Si pemalas sempat mengira kalau itu bukan bunyi kecapinya. “Belum waktunya kecapiku itu berbunyi. Ini belum tiga hari,” kata si pemalas sambil curiga mendengar bunyi kecapi yang semakin serampangan. Tiba-tiba si pemalas berlari ke arah rumahnya. Dari arah rumahnya kemudian dia berteriak kalau kecapinya itu sudah dibunyikan anak-anaknya. “Lawe, kecapiku sudah dibunyikan anak-anakku. Malahan sudah dirusak!” Teriakan si pemalas itu pertanda keberhasilan tipuan Jonaha. Anak-anak si pemalas awalnya penasaran dengan bungkusan kain merah dan mengira isinya kue.
Si pemalas masih terus berteriak-teriak marah sambil mengejar anak-anaknya. Lalu Jonaha berpikir kalau kemarahan si pemalas bisa merembes kepadanya. “Lebih baik aku pindah ke kampung lain,” Jonaha memutuskan seketika. Di kampung lain dia melihat banyak orang sedang bermain judi. Lalu dia berambisi menjadi orang kaya seperti pamannya. Dengan hasil tukar emas yang diterimanya dari si pemalas dia mulai melakukan kebiasaan bermain judi. Permainan judi itulah yang menjadi kebiasaan Jonaha selain menipu. Jonaha bukanlah petarung yang pernah menang di setiap gelanggang judi. Kekalahannya selalu membuat dia berhutang kepada penduduk kampung terbarunya. Di kampung terbarunya itu pula dia mendapatkan jodoh. “Istriku, siapa di kampung ini yang berbaik hati untuk dapat meminjamkan uang kepada kita?” Pertanyaan ini tidak terlalu sulit untuk dijawab istri Jonaha. “Kukira amang Pandorap dapatmeminjamkan uang kepada kita.”
Tak berapa lama mereka pergi ke rumah Pandorap setelah istrinya mencoba terlebih dahulu. Istri Jonaha memohon kepada Pandorap agar meminjamkan uang beberapa ringgit. “Tapi tiga atau empat hari kamu harus membayar hutangmu ya, Jonaha.” Pandorap langsung mengingatkan Jonaha karena tak biasa dia meminjamkan uang berlama-lama kepada siapapun. “Tolu aripe taho, amang. Tiga haripun jadi, pak,” janji Jonaha agar Pandorap segera memberikan uangnya.
Tiga hari kemudian Pandorap benar-benar datang ke rumah Jonaha. Sebelum mendekat ke pintu rumah, Pandorap sudah berseru. “Horas, lae Jonaha. Nunga ro ahu. Aku sudah datang, lae Jonaha.” Mendengar suara Pandorap dari luar, seketika Jonaha berpikiran agar pembayaran hutang ke Pandorap dapat diselesaikan dengan cara khusus. “Tu bagasma, hamu amang. Masuklah kalian, pak,” dibukakan pintu rumah untuk Pandorap. “Pembayaran hutangku sudah tersedia, amang. Tapi tak enak kalau aku harus langsung membayarnya. Aku ingin pergi ke hutan dulu memburu burung untuk kita makan berdua.” Jonaha mencoba pura-pura sopan. Dia sudah tahu kebiasaan Pandorap yang doyan makan daging apa saja tanpa memperhatikannya. “Kukira amang dapat bersabar sampai aku pulang dari hutan.” Mendengarnya Pandorap tentu tak sabar dengan menawarkan diri ikut ke hutan. Sebelum berangkat Jonaha masih sempat membisikkan sesuatu kepada istrinya. “Tolong masakkan enam ekor ayam remaja untuk kami makan nanti sepulang dari hutan.”
Tidak berapa lama mereka sampai di hutan yang penuh dengan suara-suara burung. Dengan gayanya Jonaha mengeluarkan sebuah sumpit dari balik punggungnya. “Amang, sumpit inilah satu-satunya yang membantu aku dan istriku untuk mendapatkan daging.” Pandorap masih diam saja mendengar pengakuan Jonaha. Tiba-tiba Jonaha melompat dan mengarahkan anak sumpitnya ke seekor burung di antara pohonan tinggi. Namun anak sumpit itu kelihatan tidak kena sasaran. Malahan burung itu terbang tiba-tiba entah kemana. “Hei, burung. Segeralah engkau terbang ke rumah dan masuk ke kuali istriku.” Ucapan itu agak mengejutkan Pandorap. Sampai enam kali Jonaha mengarahkan anak sumpitnya ke arah burung yang hinggap, Jonaha selalu mengulangi ucapan yang serupa di atas. “Amang, enam ekor burung sudah kuperintah setelah mengarahkan sumpitku ini. Marilah pulang karna kita akan menyantap keenam burung itu.” Pandorap tetap diam tanpa komentar karena yang penting baginya adalah pembayaran hutang Jonaha dan tawaran makan.
Di rumah Jonaha, bau daging bersantan menyambut dekat pintu. Istri Jonaha rupanya sudah menyajikan masakannya di atas tikar. “Lihatlah, amang. Kita tinggal bersantap.” Rasa heran Pandorap tiba-tiba muncul dengan sajian itu. Dia langsung mengira yang tersedia itu adalah keenam burung yang diarahkan dari hutan. “Sekarang baru tau kalau sumpit ini luar biasa.” Pandorap tak mampu menahan rasa kagumnya. Lalu dia meminta Jonaha menyerahkan sumpit itu kepadanya. Pikir-pikir dengan sumpit itu Pandorap setiap saat gampang mendapatkan burung dari hutan. “Begini saja, Jonaha.” Pandorap kelihatan semakin serius untuk memiliki sumpit itu. “Asal sumpit ini menjadi milikku, semua hutangmu tak perlu dibayar lagi.” Mendengar kalimat seperti ini Jonaha merasa gembira di dalam hatinya. Kegembiraan itu bukan sekedar karena hutang lunas. Namun tipuannya tak pernah gagal.
Di balik tipuan itu, Jonaha juga tetap punya rasa takut. Setiap tipuannya berhasil dia selalu segera pindah ke daerah lain. Seorang ahli judi bernama si Altup juga pernah ditipunya. Awalnya Jonaha minta diajari agar selalu menang bermain judi. “Satu ilmu untuk menang bermain judi harus kamu bayar satu ringgit.” Itulah syarat yang diterima Jonaha dari si Altup. “Saya akan membayar berapa ilmu yang disampaikan kepada saya. Namun karena saat ini saya belum punya uang, genapkanlah hutang saya menjadi tiga ringgit dengan meminjamkan dua ringgit lagi. Saya akan membayarnya setelah menang bermain judi.” Jonaha meminta kepada si Altup. Dua hari sebelumnya Jonaha sudah meminjam uang dari tiga sekawan bernama si Togop, si Tukuk, dan si Tohang. Uang yang dipinjam Jonaha juga untuk modal judi. Ketiga sekawan ini termasuk jago pukul. Apalagi si Tukuk yang orangnya bisu. Dengan kepalan tangan, Tukuk mengancam Jonaha kalau tidak membayar hutangnya.
Si Altup juga termasuk yang suka memaksa kehendak. Sesuai dengan waktu yang dijanjikan dia menjumpai orang yang berhutang kepadanya.”Jonaha, ini sudah empat hari. Waktunya kamu membayar hutangmu.” Waktu itu Jonaha sedang berada di dapur sebelum menyambut kedatangan si Altup. “Jolo hundul majo hita, lae. Alangkah baiknya kita duduk dulu, lae.” Begitu awal sopan santun yang ditunjukkan Jonaha kepada si Altup. Di rumah Jonaha kelihatan sepi tanpa istri. “Di mana istrimu, Jonaha?” Si Altup mencoba bertanya. Lalu Jonaha menjawab kalau istrinya sudah seminggu membantu pengambilan panen padi Raja Kampung. “Seminggu aku terpaksa masak dengan apa adanya di rumah ini, lae.” Kata Jonaha tanpa mengira kalimat itu muncul dari mana. Kalimat berikutnya semakin lancar diucapkan. ”Seandainya istriku di sini aku akan menyuruhnya memasakkan daging lezat. Setiap hari aku selalu mendapatkan sekerat daging kalau aku mengasah pisau ke batu asahan yang diwariskan almarhum ibuku kepadaku.”
“Aneh bin ajaib. Selama ini aku tak pernah mendengar sebuah batu asahan dapat memberi sepotong daging kalau pisau diasah di atasnya,” reaksi si Altup. Dengan air muka yang dibuat-buat Jonaha semakin menemukan kata-kata jitu untuk meyakinkan. “Hanya batu asahan inilah yang diwariskan ibuku kepadaku. Sebenarnya ini sebuah rahasia. Baru kepada lae aku mengungkapkannya. Sebentar lae tunggu di sini,” Jonaha mengeluarkan sebuah gaya baru dan pergi ke dapur. Dari dapur dia kedengaran mengasah pisau dan menguc apkan kata daging berulang-ulang. “Inilah daging yang muncul dari batu asahan itu, lae. Lae bisa bawa daging ini karena saya tidak pintar memasaknya.”
Si Altup berpikir-pikir. “Kenapa tidak?” Namun dicoba keraguannya dengan menanya ulang Jonaha yang semakin pintar menyampaikan sebuah jawaban. “Aduh, lae. Tak mungkin batu asahan ini kuserahkan kepada lae untuk menebus hutang. Masalah utama bukan tidak berani memberi. Tapi kukira lae dapat lupa akan melangkahi batu asahan ini suatu saat.” Entah setan apa yang membuat si Altup bertahan ingin memiliki batu asahan itu, Jonaha semakin melancarkan ucapan dan gaya tipuan barunya. “Begini saja. Lae bisa membawa batu asahan ini dengan syarat tak bisa terlangkahi. Kalau terlangkahi, kesaktiannya kan hilang.” Si Altup semakin kesetanan setelah mendapatkan batu asahan itu dan melepaskan semua hutang Jonaha.
Beberapa saat Jonaha bergembira dalam hati karena berhasil menipu si Altup. Belum sepenuhnya kegembiraan itu tumpah dalam ketawanya, tiga sekawan sudah dating menyusul. Jonaha dianggap sudah gila karena terbahak-bahak. “Mungkin dia sudah gila karena hutangnya terlalu banyak,” kata si Tohang. “Sebelum lari mari kita tangkap dan ikat.” Ketiganya lalu mengikat Jonaha pada sebilah papan panjang sebelum menyuruhnya berjalan. “Mana mungkin aku bisa jalan dengan terikat begini,” jawab Jonaha. “Sebaiknya kalian lepaskan saja aku agar bisa berjalan ke tempat yang kalian inginkan.” Ketiga sekawan itu sudah sepakat untuk menjual Jonaha. Mereka tak mau melepaskan Jonaha dari papan ikatan itu. “Kalau begitu kalian angkat saja aku ke tempat penjualan manusia biar aku benar-benar tak bisa lari,” lanjut Jonaha. Ketiganya pun terpaksa mengangkat Jonaha. Namun di tengah jalan ketiganya terasa capek dan kehausan. Mereka menurunkan Jonaha dan mengikatnya ke batang pohon sebelum mencari-cari sumber air. Senyum kembali mulai muncul dari wajah Jonaha. Seorang penduduk kampung bernama si Bindoran melihat Jonaha terikat. Lalu Jonaha didekati. “Kenapa kau terikat di sini, Jonaha?” Lalu Jonaha dengan lihai berpura-pura sedih. “Aku tidak tahu bagaimana caranya lari dari sini. Tiga pesuruh raja mengikatkan aku di sini karena aku tak mau menikah dengan putrid raja. Seperti yang engkau tahu aku sudah punya istri. Tak mungkin aku mempunyai dua istri.”
Si Bindoran adalah seorang duda yang sudah lama ditinggal mati istrinya. Bagi dia pengakuan Jonaha menjadi semacam jalan terang. Dia tanpa bertanya-tanya bersedia menggantikan Jonaha diikatkan. “Aku harap lae dapat berbahagia dengan putri raja dan menggantikan aku. Namun aku masih berharap agar lae memberi beberapa ringgit untuk modalku pergi dari kampung ini.” Si Bindoran tidak susah-susah menyerahkan ringgit yang dimilikinya. Sejak itu Jonaha pergi ke daerah lain yang menurutnya aman dan melancarkan kebiasaannya bermain judi serta menipu.
Kabar terakhir Jonaha sudah menjadi seorang tuan tanah di sebuah kampung. Semua tanah yang dimilikinya terkait dengan penipuannya. Dengan kekayaan dia bisa memerintah orang. Suatu ketika pada musim durian, beberapa penduduk diperintahkan jangan terlalu subuh memungut durian-durian yang terjatuh dari pokoknya. “Semalam saya bermimpi bertemu dengan harimau. Harimau itu berpesan kepadaku agar kalian jangan melakukan seperti yang kuperintahkan barusan.” Beberapa hari penduduk itu melaksanakan perintah Jonaha. Beberapa hari kemudian mengabaikan larangan itu mencari durian pada subuh hari. Apa yang diperintahkan Jonaha mulai mereka langgar. “Kita tak pernah lagi menemukan sebiji durian setelah subuh.” Penduduk sangat geram mengeluarkan kegelisahannya. Subuh hari setelah beberapa hari mereka ramai-ramai mengendap ke sekitar pokok durian itu. Mereka perhatikan ada bunyi langkah dengan perlahan. “Ssst, mungkin itu bunyi langkah harimau. Hati-hati.” Mereka saling mengingatkan. Semakin mereka perhatikan bunyi langkah itu semakin terasa seperti langkah manusia. Seseorang mencoba memastikan. Rupanya orang yang melangkah itu kelihatan seperti Jonaha. Jonaha mulai memunguti durian-durian yang berjatuhan. Tidak seberapa lama ada pula bunyi langkah yang agak aneh. Tiba-tiba suara teriakan Jonaha meledak. “Tolong, tolong! Aku diterkam harimau!” Semua penduduk di sekitar pohon durian itu mendengar suara Jonaha dengan jelas. Harimau benar-benar menerkamnya. Penduduk sebagian berlari ke kampung dan sebagian lagi mencoba bersembunyi sampai yakin kalau harimau itu sudah pergi. Keluar dari persembunyian mereka mendekat ke arah mayat Jonaha. Kepala Jonaha hampir lepas karena bagian tengkuknya tepat menjadi sasaran utama harimau. Kabar itu tersebar ke seluruh pelosok kampung. Jonaha penipu ulung itu akhirnya mendapat ganjarannya dengan terkaman harimau.
*Ditulis berdasarkan sejumlah versi (Karo, Simalungun, Toba) dan sudah dicoba menjadi sample cerita untuk Simulasi Pelatihan Opera Batak oleh PLOt di Siantar, 31 Nopember 2008. Cerita dikonstruksi berdasarkan teks pertunjukan terbaru.

Mei 22, 2009Tinggalkan Balasan
cerita “siboru tumbaga”
SIBORU TUMBAGA*
Oleh: Thompson Hs
E-mail: thompsonhs@ymail.com

Di desa Sisuga-suga tinggallah seorang tua bernama Ompu Guasa. Dia mempunyai seorang adik bernama Amani Buangga. Namun sang adik tidak seperti abang yang sudah lama memiliki banyak harta. Konon pada masa mudanya Ompu Guasa rajin berniaga ke daerah Barus serta banyak kenalan. Sekarang uban mulai menjadi mahkota di kepalanya. Sehari-hari pun sudah lebih suka berdiam di rumah untuk merenungkan perjalanan hidup. Tiba-tiba beliau teringat kembali kalau belum memiliki seorang anak lelaki untuk mewarisi semua hartanya. Istrinya pun sudah lama meninggal. Dua putrinya, bernama Siboru Tumbaga dan Si boru Buntulan, tak mungkin mewarisi semua harta kelak. Adat selama ini seperti memastikan hak waris hanya dapat diteruskan oleh anak laki-laki. Kenyataan itulah yang sering membuat Ompu Guasa gelisah meskipun adiknya mempunyai keturunan laki-laki.
Kegelisahan ompu Guasa sangan tekesan dalam batuknya. Namun selalu beliau menyembunyikan perasaan dengan mengambil salohat. Alat musik dari bambu itu selalu diselipkan di kantong baju dan dilap sesekali dengan selempangnya, sehelai ulos ragihotang. Jemarinya menekan-nekan empat lobang jenis seruling itu sampai perasaannya dapat terbenam.
“Among,” kedua putrinya sebentar menghentikan tiupannya karena mau permisi, “kami pergi dulu ke sawah. Ayah tinggal di rumah sajalah ya.”
“Ya, berangkatlah kalian!” jawabnya sebelum melekatkan alat musik itu kembali ke bibirnya. Sendirian di rumah, Ompu Guasa nampaknya akan lebih leluasa memainkan salohatnya samapi terkadang seperti ratapan. Ratapannya memang menjadi tersimpan rapi dalam permainan alat musik itu. Beliau tidak pernah mampu meratap dengan andung karena tidak pintar berkata-kata.
Belum tuntas semua kegelisahan, kedua putrinya tiba-tiba kembali ke rumah. Mereka terusik dan tak tahan di tengah jalan mendengar senandung seorang gembala. Sebenarnya mereka ingin meneruskan langkah sampai ke sawah. Namun hati Siboru Tumbaga langsung seperti disayat sembilu setelah mendengar senandung itu.
“Kenapa kalian kembali tiba-tiba,boruku?” dilihatnya sedikit rasa cemas di wajah putri sulungnya Siboru Tumbaga. Demikian pada wajah Siboru Buntulan, adik satu-satunya Siboru Tumbaga.
“Begini among. Kami sangat berharap agar ayah segeralah menikah lagi,” tandas Siboru tumbaga. Ompu Guasa menduga kalau kegelisahannya selama ini mengalir dalam permintaan kedua putrinya itu. Namun beliau masih mencoba menolak.
“Mana mungkin aku dapat menikah lagi setua ini. Mataku pun sudah mulai rabun. Perempuan mana lagi yang bersedia dapat kuperistri, wahai putriku? Sudahlah! Biarlah kuterima nasibku.”
“Kumohonkan, among. Jangan lagi menolak permintaan ini. Tadi sebelum mendadak kembali ke rumah ini, ada seorang gembala melantunkan lagu bergini: Duhai, perahu di tengah danau! Andai dayungmu patah, kemana gerangan engkau hanyut? Wahai, sang putri yang gemulai. Andai ayahanda mati, kemana gerangan engkau berpaut! Begitulah yang kami tangkap, among!”
“Sudahlah. Kalau takdir pada badan sudah begini diberikan Sang Mukajadi Nabolon, aku tetap bisa menerimanya.” Entah kesekian kalinya Ompu guasa mencetuskan perkataan itu di hadapan kedua putrinya. Namun kerena Siboru Tumbaga tetap mendesakkan permintaan, akhirnya Ompu guasa bersedia. “Kalau begitu terserahmulah, Boru Tumbaga kalau aku harus menikah lagi. Lakukanlah apa yang bisa engkau lakukan.”
Mendengar perkataan terakhir itu, Siboru Tumbaga tergerak untuk berangkat ke Barus. Di Barus ada seorang dukun bernama Datu Partungkot Bosi. Sang dukun sudah lama terkenal dengan berbagai keahliannya untuk meramalkan sesuatu. Datu Partungkot Bosi juga ahli tersohor di wilayah barat negeri yang menguasai debata ni parmanukon, semacam peta baik-buruk untuk sesuatu yang direncanakan. Dari desa Sisuga-suga ke Barus akan melalui hutan dan tempat-tempat berbahaya bagi kaum perempuan. Kemudian Siboru Tumbaga melakukan penyamaran seperti lelaki. Dipilihnya salah satu pakaian dari lemari ayahnya dan dilengkapi dengan topi. Satu lagi dia tidak lupa menggunakan kumis palsu. Sampai kebetulan ketemu di tengah hutan dengan Datu Partungkot Bosi, Siboru Tumbaga selalu berusaha menciptakan gerak-gerik menyerupai seorang laki-laki suruhan. Terkadang dia ketakutan juga dengan penaymarannya.
“Bah, lae! Kenapa kau ketakutan melihatku?” tiba-tiba dari seorang lelaki dihadapannya. “Kita tidak kebetulan sama-sama manusia juga di tengah hutan ini. Kenapa engkau kelihatan takut?”
“Kuucapkan salam kepadamu, lae. Horas!” Balas Siboru Tumbaga ambil berusaha menirukan suara lelaki. “Kebetulan aku hendak ke negeri Barus menemui Datu Partungkot Bosi.”
“Kuharap kau jangan berpura-pura tidak mengenalku. Akulah Datu Partungkot Bosi. Lalu kenapa engkau memerlukanku?” Siboru Tumbaga sempat tidak percaya kalau yang dijumpa di tengah hutan itu adalah Datu Partungkot Bosi. Namun dengan melihat tampangnya yang serupa dengan cerita Ompu Guasa, Siboru Tumbaga mengakui dirinya sebagai suruhan Ompu Guasa. Rupanya Ompu guasa adalah sahabat lama Datu Partungkot Bosi.
Datu Partungkot Bosi tidak begitu sulit menduga hal-hal baik dan buruk melalu debata parmanukon. Datu Partungkot Bosi benar-benar melihat tanda ajal dari sahabat lamanya itu. Lalu disarankan kepada Siboru Tumbaga gar melarang Ompu Guasa ke luar rumah dalam waktu seminggu. Namun karena Ompu Guasa suatu hari berkeras mau memeriksa awah dan hewan peliharaannya, ramalan Datu Partungkot Bosi itupun terjadilah. Beberapa orang penduduk yagn melihatnya tergelincir di pinggir sawah tergesa-gesa memberi kabar kepada kedua putri yang sedang membersihkan sekeliling rumah. Namun sampai di rumah nampaknya Ompu guasa tidak lama lagi menghembuskan nafas terakhir sebelum menyampaikan pesannya.
“Boru Tumbaga dan Boru Buntulan, simpanlah barang-barang berharga untuk kalian berdua. Bayangan ibumu sudah sangat dekat untuk men…jem…putttku.”
pilu yang sangat mendalam akhirnya memperkuat tangisan Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan. Ditambah lagi ratapan dari beberapa orang di dalam rumah, penduduk lain desa Sisuga-suga bergegas menuju arah tangisan. Saru-satunya manusia yang menahan dirinya tidak bergegas ke sana adalah Amani Buanga. Dia baru ke sana setelah dijemput.
Melewati pintu rumah yang sedang berduka itu, Amani Buanga sengaja berpura-pura mengatakan “Bah! Apakah ayahmu ini sudah betul-betul meninggal?” Sambil diarahkanny kepada Siboru Tumbaga. “Sekarang ayahmu sudah meninggal, Boru Tumbaga dan Boru Buntulan. Di mana kalian simpan semua harta itu?” Tentu bukan saja kedua putri itu terkejut dnegan perilaku Amani Buanga. Salah seorang tetua kampung mencoba mengingatkan agar Amani Buangga berpikir duluan untuk melaksanakan adat penguburan jasad Ompu Guasa

*diambil dari cerita garapan opera batak yang pernah dipentaskan grup opera silindung (gos) di beberapa kota dari tahun 2003 sampai 2005.

Mei 22, 2009Tinggalkan Balasan
SIBORU DEAK PARUJAR*
Oleh: Thompson Hs            

Ktuk… ktuk… ktukktuk! Tiba-tiba Siboru Deak Parujar menghentikan alat tenunnya. Pekerjaan sehari-hari Siboru Deak Parujar memang lebih banyak bertenun. Selain bertenun, terkadang merasa lelah karena duduk berlama-lama menyelesaikan tenunannya. Namun untuk melepaskan rasa lelah dia pergi ke bawah pohon Tumburjati. Pohon kehidupan itu terasa rindang bagi semua penghuni Banua Ginjang atau kahyangan. Letaknya dari beberapa hunian di kahyangan tidaklah sesunyi Porlak Sisoding, taman tersembunyi yang menyimpan hal-hal rahasia. Pohon Tumburjati kelihatan selalu ramai seperti ranting dan daunnya. Di sanalah mereka mendapat pengetahuan atas berbagai hal, termasuk kodrat masing-masing. Kalau daun Tumburjati gugur, semua penghuni kahyangan langsung dapat mengartikannya. Daun-daunnya yang menangkup ke lapis langit pertama dan tertinggi seakan memohon agar tidak gugur sebelum waktunya. Namun ada kalanya dari daun termuda terpaksa jatuh bersama ranting yang patah.           

Di puncak ketinggian pohon kehidupan itu hinggap seekor unggas bernama Manuk Hulambujati. Tidak terbayangkan ketinggian pohon kehidupan itu. Sehingga ada kalanya nama pohon itu disebut Hariara Sundung di Langit, yang artinya beringin yang condong di langit. Manuk Hulambujati tentu selalu hinggap di puncaknya pada waktu-waktu tertentu; di suruh atau tidak. Namun unggas itu adalah induk tiga telur besar yang pernah mengandung Batara Guru serta dua dewa lain yang bernama Debata Sori dan Mangalabulan. Suatu ketika juga Manuk Hulambujati bersedia mengeramkan tiga telur lagi; kelak yang dikandungnya adalah pasangan ketiga sang dewa. Siboru Parmeme menjadi pasangan Batara Guru, Siboru Parorot untuk Debata Sori, dan Siboru Panuturi untuk Mangalabulan. Siboru Deak Parujar adalah putri bungsu Batara Guru           

Berkali-kali pergi ke bawah rindang Tumburjati, Siboru Deak Parujar selalu sempat melihat Manuk Hulambujati bertengger. Cara hinggap unggas itu seperti cahaya bintang-bintang yang berkejaran. Moncongnya berpalang besi, kukunya bergelang kuningan, dan sosoknya sebesar kupu-kupu raksasa nan berkilau. Terkadang tanpa perduli Siboru Deak Parujar menghalau unggas itu agar berkenan turun dan mau bercengkerama dengan dia.           

“Wahai, Manuk Hulambujati. Mengapa engkau tak mau turun untuk bersamaku di sini? ” Terketus ucapan itu dari Siboru Deak Parujar karena sang unggas tak pernah turun dari puncak pohon. Sebenarnya dia tidak perlu mengeluarkan ucapan serupa karena ada larangan dari Batara Guru. Manuk Hulambujati benar-benar bukan sembarang unggas. Tidak ada yang dapat menyuruh Manuk Hulambujati turun dari puncak pohon, kecuali Ompung Mulajadi Nabolon. Ompung Mulajadi Nabolon, sebagai Sang Pemula Akbar dari segala yang ada, telah mencipta dan menetapkan kodrat tertentu bagi Manuk Hulambujati. Unggas itu merupakan salah satu suruhan Mulajadi Nabolon, di samping nama lain seperti Leang-leang Mandi, Leang-leang Nagurasta, dan Untung-untung Nabolon. Masing-masing diciptakan Mulajadi Nabolon sebelum Tumburjati dan sesuai dengan fungsinya. Leang-leang Mandi atau layang-layang mandi menjadi pelayan inti dan penyampai pesan kalau Manuk Hulambujati membutuhkan bantuan Mulajadi Nabolon. Demikian kelak perannya bagi siapa yang membutuhkan bantuan dari Mulajadi Nabolon. Sedangkan Leang-leang Nagurasta hanya sahabat Leang-leang Mandi. Manuk Hulambujati ada kalanya mirip dengan Untung-untung Nabolon. Manuk Hulambujati bagi semua penghuni kahyangan cukuplah dipandang saja dari jauh dan saat bertengger karena fungsinya sudah selesai mengawali kehidupan manusia di Banua Ginjang.           

 “Ibunda,” tiba-tiba Siboru Deak Parujar mendekat pada ibunya. “Mohonlah terangkan mengapa daku tak bisa mengajak Manuk Hulambujati bercengkerama.” Keingintahuannya masih bernada memaksa. Namun jawaban dari Siboru Parmeme tetap seturut pesan yang mereka terima bersama Batara Guru. “Jangan. Pantang. Awas terlanjur!” Itulah pesan keramat yang diterima untuk menghormati Manuk Hulambujati.            

Akhirnya Siboru Deak Parujar tak lagi memaksa diri. Pasti dia tahu suatu waktu soal Manuk Hulambujati. Setiap kali kembali ke bawah rindang Tumburjati, diam-diam dia mendengar cerita yang bisa muncul di situ. Diapun lama-lama menjadi seperti penghuni yang lain di lapis kedua Banua Ginjang. “Lebih baik kunikmati saja kebahagiaan seperti apa adanya di kahyangan ini,” pikirnya. Perhatiannya pun semakin biasa memperhatikan keturunan dewa lain. Maklum, Siboru Deak Parujar mulai remaja.           

Suatu ketika dia terdorong kembali ke bawah pohon Tumburjati. Namun tidak sendirian. Dia sengaja mengajak Siboru Sorbajati. “Ayolah, kakakku. Temani aku menikmati suasana di bawah pohon Tumburjati.”           

 “Baiklah, adinda,” jawab si putri sulung atau anak kedua Batara Guru itu. “Akupun sudah agak lama tidak ke sana.” Sebelum beranjak, mereka berdua tak lupa merapikan letak hulhulan, penggulungan besar untuk benang tenunan. Nampaknya mereka berdua sama-sama kurang bersemangat mempersiapkan tenunan baru. Sebelum tiba di sekitar pohon Tumburjati, mereka mulai memperbincangkan kelak pasangannya. Siboru Deak Parujar tidak berani menunjuk siapa gerangan yang menarik hati dari antara keturunan dewa.           

“Kita semua di lapis kedua kahyangan ini keturunan dewa. Siapapun yang menjadi pasanganku nanti, lebih baik daripada tidak ada.” Begitulah kata Siboru Sorbajati dan meneruskan: “Seandainya ayah kita berkenan juga menjodohkan aku dengan Siraja Odap-odap, aku akan turut juga.”           

Perkataan terakhir bagi Siboru Deak Parujar terasa menyindir. Sudah lama nama tersebut ingin disingkirkannya. Namun Mulajadi Nabolon sudah mengatur semua kalau keturunan ketiga dewa mengambil pasangan dari antara mereka. Keturunan laki-laki Batara Guru mendapat pasangan dari putri Debata Sori. Anak laki-laki Debata Sori dari Putri Mangalabulan. Sedangkan anak Mangalabulan harus mendapatkan pasangannya dari putri Batara Guru.           

 “Ah, berpapasan saja aku tidak akan mau dengan anak Mangalabulan itu!” Siboru Deak Parujar melepaskan ketakutannya berpasangan dengan Siraja Odap-odap. Siboru Sorbajati sebenarnya sudah pernah ditawarkan perjodohan itu. Namun dia merasa lebih baik melompat dari balkon rumah dan ingin menjadi batang enau daripada melihat wajah Siraja Odap-odap. Tadinya dia memang hanya ingin mengetahui perasaan adiknya.           

 “Baiklah kita tidak meneruskan langkah ke sekitar Tumburjati. Mungkin Siraja Odap-odap sedang menunggu kita di sana.”           

Mereka pun kembali meneruskan gulungan benang tenunnya sampai memulai tenunan baru. Ktuk… ktuk… Ktukktukktuk! Ktuk… ktuk… ktukktukktuk…. Berhari-hari dan berbulan-bulan.           

 Batara Guru dari bagian biliknya nampak tidak sabar lagi untuk mendesak salah satu putrinya untuk dipersunting Siraja Odap-odap. “Kemarilah kalian berdua,” panggil Batara Guru.           

“Aku masih meneruskan tenunanku!” Sahut Siboru Deak Parujar. Siboru Sorbajati akhirnya melangkah sendiri memenuhi panggilan Batara Guru. Namun sebelum bertemu muka dengan sang ayah, dia sudah mendengar suara-suara yang menanti di halaman rumah. Pikirnya, pasti mereka itu keluarga Mangalabulan sambil menghantar Siraja Odap-odap. Lalu tanpa perlu ketemu lagi dengan Batara Guru, Siboru Sorbajati benar-benar melakukan niatnya dengan melompat dari balkon rumah sambil menyumpahi diri agar menjadi batang enau saja.            

Kejadian itu mengejutkan keluarga Mangalabulan. Namun mereka masih berharap dengan satu lagi putri Batara Guru.   

 “Siboru Sorbajati lebih suka mengutuk dirinya daripada patuh kepada ajar. Satu lagi putri kakanda yang sangat turut pada ajar, pastilah itu Siboru Deak Parujar.” Begitulah Mangalabulan menyampaikan harapan kepada Batara Guru agar segera meresmikan perjodohan dengan anaknya, Siraja Odap-odap. Mendengar harapan itu Batara Guru segera memanggil Siboru Deak Parujar.           

“Tidak, ayahanda. Lagi pula tenunanku belum selesai,” begitulah selalu reaksi Siboru Deak Parujar setiap kali Batara Guru mendesaknya. Sampai-sampai Batara Guru mulai merasa malu kepada keluarga Mangalabulan. “Selesai atau tidak tenunanmu,” tegasnya ke arah Siboru Deak Parujar, “engkau harus bersedia menerima Siraja Odap-odap. Engkau tak perlu melihat rupa dan mencari alasan.” Perkataan Batara Guru itu membuat Siboru Deak Parujar mulai gemetar. Berkali-kali dia mencari alasan dengan tenunan yang belum selesai. Besok hari sebelum matahari terbit Batara Guru memaksanya menikah dengan Siraja Odap-odap.            

“Ah!” desahnya dalam hati. “Simuka kadal itu dijodohkan jadi suamiku?” Benar-benar dia tak mau terima. Lalu tekanan itu mendorong dia merencanakan sesuatu. “Biarlah aku terjun seperti kakakku Siboru Sorbajati.” Demikian dalam hatinya. Namun dia masih tetap berpikir ke mana akan terjun. Sebelum ditemukan caranya untuk menyingkir besok hari, Siboru Deak Parujar mengalihkan perhatian kembali pada tenunannya. Ktuk… ktuk…ktukktukktuk….            

Sampai menjelang pagi dia mengeluarkan bunyi alat tenunnya itu sambil menikmati. Tiba-tiba dia terpikir melemparkan hasoli, salah satu dari alat tenunnya. Di dalam hasoli itu masih tergulung benang yang dipindah dari hulhulan. Sebelum matahari terbit benar-benar akan dilemparkannya ke arah tempat gelap.           

Semalaman Batara Guru tetap berjaga agar putrinya tidak melarikan diri. Tiba-tiba bunyi alat tenun Siboru Deak Parujar didengarnya mulai berhenti. “Putriku, Deak Parujar!” Dicoba dari biliknnya memanggili. Namun sekali saja Siboru Deak Parujar menyahut panggilan Batara Guru, dia sudah bergayut pada benang yang menjulur entah sampai ke mana. Perlahan dia semakin turun, nampaknya dunia bawah tidak jelas dan sangat gelap. Angin kencang dan lebih dahsyat kacaunya dari sebelum penciptaan kahyangan. Angin kencang itu membuatnya terayun-ayun dan hampir terlempar. Sampai terang matahari sedikit menyinari bawah kahyangan itu, dia melihat semuanya nun di bawah tanpa tempat berpijak. “Leang-leang Mandi, Untung-untung Nabolon…!” Dipanggilnya pesuruh Mulajadi Nabolon itu sambil berteriak. “Kumohonkan agar engkau meminta sekepul tanah untuk tempatku berpijak di bawah sana! Aku tak mau kembali ke Banua Ginjang.” Mulajadi Nabolon tidak menolak permintaan Siboru Deak Parujar karena tidak ingin menghukum. Namun ketika sekepul tanah yang dikirimkan Mulajadi Nabolon ditekuk Siboru Deak Parujar, langsung terhamparlah tempat berpijak yang sangat luas dan menjadi awal terjadinya bumi atau yang disebut Banua Tonga.           

 Belum sempat merasakan keberhasilan melarikan diri dari Banua Ginjang dan mencipta Banua Tonga, Siboru Deak Parujar tiba-tiba merasa oleng dan terlempar ke bumi yang dipijaknya. Dia merasa tanah yang ditekuknya itu cukup tipis dan tidak kukuh. Dia ingin memanggil Leang-leang Mandi. Namun suaranya tertahan karena guncangan besar. Guncangan itu menghancurkan bumi yang ditekuknya. Seekor raksasa besar bernama Naga Padoha ternyata si pelaku guncangan besar itu. Entah bagaimana caranya Naga Padoha sekonyong-konyong dapat berada di bawah tanah sebelum melakukan guncangan besar. Konon Naga Padoha dianggap masih dari garis Mangalabulan dan pernah frustrasi disebabkan jodohnya tak pernah berhasil dengan Nai Rudang Ulubegu. Mungkin juga Naga Padoha merasa lebih baik melamar Siboru Deak Parujar.           

“Ompung Mulajadi Nabolon, mohon kirimkan kembali sekepul tanah lewat pesuruhmu Leang-leang Mandi!” Permohonannya itu tidak lama sampai untuk ditekuk kembali, lengkap dengan sebilah pedang dan tutup kepala. Tutup kepala itu untuk dipakai Siboru Deak Parujar menghindari terik delapan matahari yang diciptakan Mulajadi Nabolon untuk sementara mengeringkan banjir air di Banua Tonga. Sedangkan sebilah pedang itu digunakan untuk menaklukkan Naga Padoha.kalau guncangan besar masih selalu dilakukan. Pedang itu sempat ditancapkanya ke bagian kepala Naga Padoha ketika tekukan kedua itu beberapa saat masih diganggu.           

Bumi sudah tercipta oleh Siboru Deak Parujar. Naga Padoha pun sudah ditaklukkan. Begitupun, sesekali Naga Padoha masih akan mengguncang dari Banua Toru, tempat segala kegelapan, kejahatan, dan kematian yang dikuasai iblis itu. Namun penangkal untuknya sudah cukup dilakukan oleh Siboru Deak Parujar dengan cukup menyerukan: “Suhul! Suhul!” Artinya meneriakkan gagang pedang itu saja Naga Padoha akan merasa takut dan segera menghentikan guncangan.             

Terciptanya Banua Tonga oleh Siboru Deak Parujar membutuhkan jenis-jenis kehidupan lain. Lalu dia masih melakukan permintaan kepada Mulajadi Nabolon agar mengirimkan bibit-bibit tumbuhan dan hewan. Mulajadi Nabolon memasukkan semua bibit itu ke dalam potongan batang bambu sebelum Leang-leang Mandi melemparkan ke hadapan Siboru Deak Parujar. Namun satu hal di antara segala jenis bibit itu, Siboru Deak Parujar tidak mengetahui satu hal. Dia baru tahu kemudian setelah semua jenis bibit itu disebar ke seluruh penjuru, di antaranya bercampur jasad Siraja Odap-odap yang dicincang teramat kecilnya. Menunggu tiba waktu dan rasa kesepian muncul dalam diri Siboru Deak Parujar, jasad Siraja Odap-odap yang terberai itu menyatu kembali atas perkenan Mulajadi Nabolon. Dihampirinya Siboru Deak Parujar di sebuah pancuran yang dihalangi rimbun tetumbuhan. “Ohhh!” Siboru Deak Parujar hanya terkejut sejenak.           

 Pertemuan Siboru Deak Parujar dengan Siraja Odap-odap di Banua Tonga tak bisa lagi ditolak. Mulajadi Nabolon memberkati mereka hingga melahirkan manusia pertama di bumi. Manusia pertama itu adalah Raja Ihat Manusia dan pasangannya bernama Itam Manusia. Setelah melahirkan manusia itu Siboru Deak Parujar dan Siraja Odap-odap harus kembali ke Banua Ginjang. Mereka naik ke Banua Ginjang melalui seutas benang. Sempat manusia di bumi itu terikut menaiki benang. Namun kemudian terputus. Perpisahan ini sungguh menyedihkan. Namun Siboru Deak Parujar masih berujar kepada Raja Ihat Manisia: “Kalau kalian rindu kepadaku, terawanglah purnama bulan. Di situlah aku kelihatan kembali bertenun.”  

* diambil dari beberapa referensi         

Maret 22, 20081 Balasan
GURU SAMAN DARI LAU BALANG
Oleh: Thompson Hs


Di tengah sebuah hutan terdengarlah suara yang sumbernya berubah-ubah. Suara itu memanggil-manggil satu nama: Saman! Saman! Saman! Lalu seorang laki-laki entah dari mana seperti ingin menghadapi suara itu. Namun dengan gaya pencak dan satu dua loncat salto, laki-laki itu nampak menyatu dengan irama suara yang memanggil-manggilnya. Laki-laki itu bermata merah, kumis melintang, dada berbulu, dan berambut panjang serta janggut tak beraturan. Dialah Guru Saman yang mengaku dari Lau Balang Tanah Karo.

“Guru…!” Saman dengan lantang menghadap suara itu dan meneruskan isi hatinya. “Ilmu yang kuterima dari Guru sudah kucoba!.”

“Saaamaaan!”

“Guuuru!”

“Tapi ilmu itu pergunakanlah sebaik-baiknya. Ingat, ada tiga syarat ilmu itu.” Suara itu perlahan dan bergema kembali.

“Guuuru!”

“Kau tidak boleh membunuh yang tidak bersalah kepadamu, tidak boleh membunuh anak-anak, dan….”

“Satu lagi, Guuuru!”

“Dan kau tidak boleh membunuh wanita yang sedang berbadan dua!”

            “Baiklah, Guru.” Ketus Saman sebelum beranjak dari tempatnya bersila. Niat lamanya hendak pergi ke daerah Sipahutar tak dapat lagi dipendamnya. Dari hutan itu Saman melewati berbagai tempat dan singgah sebentar-sebentar di keramaian kampung dan pasar. Di Merek dan Saribudolok dia sempat menyantap makanan kesukaannya, yakni anak babi kecil yang dipanggang!

            “Jangan lupa bikin cabenya sebesar anak babi itu juga!” Itu dipesan kepada penduduk yang diancamnya atau kepada penjual makanan di kedai-kedai tertentu. Namun setelah puas menyantap pesanannya, Saman lari dan menghilang seketika. Dia tidak bayar satu sen pun. Begitulah caranya.

Sampailah dia di Sipahutar, melewati Siborong-borong dan Garoga tempatnya menang bermain judi untuk sekian kali. Dia memang suka judi sejak kecil dan itulah caranya mencari uang. Di Sipahutar dia langsung menuju sebuah kedai tuak yang letaknya di sekitar simpang empat. Kedai tuak itu milik Jakobus dan putri satu-satunya yang bernama Marsella. Jakobus dan Marsella dikejutkan oleh Saman dengan melompat dan duduk seenaknya ke atas meja sambil menancapkan belatinya.

“Lit lau pola?” pertanyaan ini menimbulkan rasa bingung pemilik kedai. Maklum, di sekitar Sipahutar tak pernah dialek Karo digunakan. Mereka sama sekali tak mengerti cakap Saman yang sebenarnya hanya bertanya: ada tuak?

“Maaf, maaf. Tak ada di sini yang taralit, amangboru!” sambut Marsella dengan lugu dan gemetar lagi memegang lengan ayahnya. Mungkin Marsella mengira Saman seorang dukun pijat yang biasa menyembuhkan orang-orang yang taralit, keseleo. Jakobus juga tak sanggup menelan tambul daging di mulutnya karena terkejut. Sisa tuak di gelasnya segera di teguk. Dari tadi Jakobus mengawali minum tuak, sekedar menimbang raru, ragi tuak dari jenis pohon tertentu yang rasanya pahit dan kelat.

“Lauuu pooola, kataku!” Saman mulai geram mengulangi permintaannya.

“Oh, maksudnya yang marimpooolaaa…?”

“Diam itu mulutmu. Ini menit, ini detik belati dapat membunuh kalian berdua!” Saman menarik belatinya karena merasa dipermainkan. “Aku minta segera, bikin tuuuwwaaak!”

Tuak pun segera diambil dari poting, tabung tuak dan dituangkan ke cangkir bambu. Sekali dua teguk Saman minum tuak itu seperti kehausan saja. Berkali-kali dia minta tambah, sebanyak itu pula pemilik kedai merasa keberatan.

“Tuaknya sudah habis, Amangboru,” kata Marsella.

“Diam kau! Kalau tak ada lagi tuak, darahmu pun bisa kuminum!” Kalimat seperti itu nadanya pasti mengancam. Sehingga pemilik kedai tak mampu menolak. Seketika tak terhitung tuak yang direguk Saman. Matanya semakin merah dan menakutkan. “Among!” teriak Marsella setelah memperhatikan gaya Saman. “Sebentar kita pasti ditelannya!”

Hari mulai senja. Penduduk pasti mulai pulang dari ladang dan sawah. Namun ada juga yang selalu singgah di kedai tuak. Benar! Hermanus, seorang hampung, kepala desa bersama ketiga adiknya sudah terbiasa singgah di kedai tuak Jakobus. Mereka pulang dari hutan mencari gelondongan kayu yang dijual untuk bahan bangunan rumah di Tarutung dan Sibolga.

“Tuak, Jakobus!” Permintaan khusus Hermanus sudah dimengerti oleh Jakobus. Namun dibisikkannya kepada Marsella agar tuak untuk Hermanus ditambah saja dengan air beras atau air hujan. Soalnya Hermanus sudah punya tumpukan hutang enam bulan dan belum bisa dilunasi kepada Jakobus. “Rarunya tambahi ya, boru!” pura-pura Jakobus setengah berteriak menyuruh borunya, putrinya. Adik-adik Jakobus nampaknya sudah kehausan juga.

“Jakobus, tambahi tuaknya,” pinta Hermanus sambil memperhatikan seseorang yang menurutnya tidak sopan duduk di meja sebelahnya. Setelah tuak yang dicampur itu ludes juga mulai ditegurnya Saman agar turun dari meja itu. Saman lalu tersentak dan berkata: “Sesukaku saja. Kalau aku suka duduk di atas kepalamu, aku akan duduk. Sekarang apa maumu melarangku?” Mengucapkan kalimat terakhir Saman melompat dan hendak menyerang Hermanus.

“Tunggu dulu,” kata Hermanus seketika. “Kita sudah sama-sama orangtua. Tapi kau kelihatannya tak bisa sopan. Kau mau tunjukkan matamu yang merah di sini? Bagiku mata merah sama saja dengan mata ikan busuk. Juga dengan kumis serammu, bagiku itu seperti misai kambing. Sekarang marilah kita bertaruh!”

Pertaruhan mulai bikin Jakobus dan Marsella kembali ketakutan. Mereka tak berdaya mengusir. Apalagi karena langkah dan jurus-jurus silat menghentak ke sana kemari. Setelah beberapa langkah tiba-tiba Hermanus dan Saman berhenti dalam pertemuan titik pukul yang serupa.

“Bahhh,” Saman merasa heran. “Aku keluarkan jurus silat tertentu, kau ikuti juga begitu.”

“Kau juga meniru jurus pukul yang kukeluarkan,” tandas Hermanus.

“Lantas, kenapa bisa sama? Siapa gerangan gurumu?” Sergah Saman.

“Hmmm,” Hermanus iseng senyum. “Mendengar nama guruku, nanti misaimu bisa turut gemetar. Guruku adalah Guru Saman!”

“Hei, kau tak mengenalku?” Tanya Saman meyakinkan.

“Pweh! Aku tak kenal kau. Beguattuk kau!” Hermanus tak perduli dengan mengatakan begitu: beguattuk, kolera atau sampar. Namun itu akhirnya membuat Saman mulai tertawa.

“Akulah yang kau sebut itu gurumu. Guru Saman!” Seketika mendengarnya Hermanus tunduk dan memanggil adik-adiknya. Hermanus mengenalkan ulang ketiga adiknya yang dulu masih kecil-kecil waktu Hermanus berguru pada Saman. Satu per satu kembali diingatkan kepada Guru Saman. “O, ini yang namanya Paulus. Ini Sem. Ini Eli, sudah jadi orang baik-baik. Sekarang kita minum tuak lagi.”

Nampaknya tuak benar-benar sudah habis di kedai Jakobus meskipun malam belum larut. Hermanus lalu menyuruh Paulus dan Sem mencari tuak ke tempat lain. Sementara Eli disuruhnya lebih cepat ke rumah agar dapat menyediakan sajian sampai pagi hari untuk Guru Saman. Kehadiran Guru Saman di rumah itu menimbulkan rasa bangga bagi Hermanus. Mereka mengikat janji; apabila disakiti orang lain, mereka akan sama-sama sakit hati dan membalasnya. Ketiga adik Hermanus juga diajari Guru Saman bermain silat. Rasa takut mereka bermain silat diuji dalam gelanggang yang penuh kaca. Gelanggang itu terletak di belakang rumah Hermanus. Selain melatih ketiganya, Guru Saman mengisi hari-harinya di Sipahutar mencari pemain judi di kedai tuak atau di keramaian.

Suatu ketika Hermanus duduk terhenyak di rumah. Dia baru saja pulang dan merasa dihina Guru Martin karena uang yang dipinjam harus dikembalikan. Cara meminta Guru Martin juga di depan orang banyak dianggap sengaja hanya mempermalukan Hermanus. Itulah yang membuatnya sangat tersinggun dan marah mengeluarkan belati ke arah Guru Martin. Dalam kejadian itu, istri dan dua adik Hermanus hampir terlibat mengikuti tindakan Hermanus. Malahan sebelum meninggalkan tempat keributan itu, Hermanus mengancam orang ramai.

“Siapa dari kalian masih ikut berkumpul minggu depan, akan ikut kubunuh!” Begitulah ancaman diterima orang ramai setelah Guru Martin dapat disingkirkan Jakobus, pemilik kedai tuak serta Eli, adik Hermanus yang selama ini tidak menyukai keributan itu. Kejadian itu terus menghantui pikiran Hermanus sampai salah seorang adiknya muncul kembali lebih dulu.

“Kakanda, aku telah berikan jaminan kepada Guru Martin. Aku sampaikan kepada Guru Martin kalau aku akan membayar hutang pinjaman itu dalam tempo seminggu.” Demikian dari Eli setelah beberapa langkah masuk dari pintu rumah. Namun kemarahan Hermanus masih merasa lebih penting dari jaminan yang disampaikan oleh Eli.

“Hutang pinjaman itu? Kau saja tak mampu penuhi kebutuhan anak istrimu. Sok jago kau!” Seketika ucapan itu berakhir, menyusul pula tendangan Hermanus kepada Eli. Paulus dan Sem tiba-tiba muncul. “Habisi saja dia, kakanda,” serentak keluar dari mulut kedua adiknya.“Guru Saman sebentar lagi akan datang.”

Memang Guru Saman sangat dinantikan Hermanus. Sehingga sepulang dari keributan itu dia sengaja menyuruh Paulus dan Sem mencari Guru Saman. Ketika Guru Saman mendekat pintu masuk suaranya sudah kedengaran. Nadanya agak lain.

“Horas, guru!” Hermanus menyambut ke arah pintu. “Mohon guru duduk dulu,” tambah Hermanus sebelum menyampaikan isi kepalanya.

“Hermanus, kau menyuruh kedua adikmu ini memanggilku. Aku pas di gelanggang judi dan kalah. Apa gerangan yang sangat penting?” Wajah Guru Saman kelihatan dingin.

“Begini, guru. Ada seseorang yang baru melecehkan guru. Katanya ilmu Guru Saman tidak seberapa tinimbang ilmu yang dimilikinya,” Guru Saman langsung terkesiap mendengar penyampaian Hermanus. Namun dia mulai mengumpulkan amarahnya. “Kami tidak setuju dengan caranya itu, guru!”

“Siapa orang yang kurang ajar itu?” Tanya Guru Saman sambil berdiri.

“Guru Martin, guruuu…!” bersamaan mereka menjawab selain Eli. Guru Saman memang sudah lama mendengar nama tersebut. Guru Martin adalah seorang panutan di lingkungan masyarakat. Dalam menimbang-nimbang hal tertentu dari nama itu, Hermanus menyela bayangan Guru Saman.

“Guru, lebih baik kita membunuh Guru Martin itu!”

“Yah, aku sudah lama tidak membunuh manusia. Persiapkanlah semua untuk membunuh yang kau sebut itu,” tandas Guru Saman. Mereka berencana membunuh pada malam hari sebelum keesokan orang-orang berkumpul di rumah Guru Martin. Paulus, Sem, dan Eli dimintai sumpah untuk pembunuhan itu. “Dengke ni Sabulan tu tonggina tu tabona, manang ise siose padan turipurna tu magona,” demikianlah penutup sumpah itu diucapkan ditekankan Guru Saman. Pembunuhan itu diumpamakan seperti manis dan enaknya ikan dari Negeri Sabulan. Siapa di antara mereka yang abai sumpah itu akan hilang lenyap.

Malam hari di sekitar rumah Guru Martin, mereka sudah mulai mengendap-endap. Di dalam rumah Guru Martin dengan Klara, istrinya yang sudah hamil tua masih bercakap-cakap. Kander, anak mereka yang berumur tiga tahun tentu sudah lelap dan sebentar lagi akan ditemani sang istri ke kamar. Ketika Hermanus merasa istri Guru Martin sudah masuk kamar, dia mengetuk pintu.

“Guru! Guru! Aku Hermanus. Aku mau bayar hutangku itu,” demikian Guru Martin ingin diyakinkan. Namun dari dalam rumah, Guru Martin agak menolak. “Besok saja. Ini sudah larut malam, hampung!”

Hermanus tidak mau kehabisan akal sampai pintu dapat dibukakan Guru Martin. Ketika pintu sedikit terbuka, Guru Saman dengan keras mendorong pintu dan langsung menghunjamkan belatinya ke dada Guru Martin. Rintihan suara yang sempat memanggil, membuat istri Guru Martin terkejut dan keluar dari kamar. Klara pun meraung-raung dan berkali-kali bersujud agar tidak ikut dibunuh. Namun Guru Saman terpaksa membunuhnya juga karena dorongan Hermanus dan dua adiknya.

Pembunuhan Guru Martin dan istrinya sungguh menyedihkan. Namun orang-orang Sipahutar tidak lama mengetahui orang-orang yang melakukan pembunuhan itu. Polisi dari Tarutung segera mengusut dan menghadapkan saksi-saksi pembunuhan di hadapan pengadilan. Salah satu saksi itu adalah Jakobus, si pemilik kedai yang sering terancam dan diperas Guru Saman dan Hermanus.

“Menurutku, inilah kesempatan menghukum Guru Saman. Lebih baik dia direndam ke dalam tong yang berisi air yang mendidih. Biarkan dia di situ mati!” Begitulah Jakobus memuaskan rasa dendamnya kepada Guru Saman. Namun pengadilan memutuskan Guru Saman harus dihukum gantung. Sebelum dihukum gantung sempat Guru Saman diberi kesempatan menyampaikan pesan terakhirnya.

“Sejak kecil semua permintaanku harus dipenuhi orangtuaku. Karena itulah aku selalu meraja lela. Kuharapkan agar orangtua tidak lagi mendidik anaknya seperti aku. Aku siap dihukum gantung dengan segala kesalahanku.”

Hukuman gantung itu berlangsung tanpa diketahui Hermanus serta adik-adiknya karena mereka sudah lebih dulu dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman yang berbeda-beda.

“Guru Saman sudah maaatiii……!”


*Sumber: Dokumen Google

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapal AL Cina Tangkap Drone Bawah Laut AL Amerika

Pemerintah Belum Akan Terbitkan Surat Jaminan Pinjaman LRT

Cara membuat screenshot manual