Siboru Tumbaga

Cerita ini dicopas dari blog wordpress. 
Oleh: Thompson Hs
E-mail: thompsonhs@ymail.com

Di desa Sisuga-suga tinggallah seorang tua bernama Ompu Guasa. Dia mempunyai seorang adik bernama Amani Buangga. Namun sang adik tidak seperti abang yang sudah lama memiliki banyak harta. Konon pada masa mudanya Ompu Guasa rajin berniaga ke daerah Barus serta banyak kenalan. Sekarang uban mulai menjadi mahkota di kepalanya. Sehari-hari pun sudah lebih suka berdiam di rumah untuk merenungkan perjalanan hidup. Tiba-tiba beliau teringat kembali kalau belum memiliki seorang anak lelaki untuk mewarisi semua hartanya. Istrinya pun sudah lama meninggal. Dua putrinya, bernama Siboru Tumbaga dan Si boru Buntulan, tak mungkin mewarisi semua harta kelak. Adat selama ini seperti memastikan hak waris hanya dapat diteruskan oleh anak laki-laki. Kenyataan itulah yang sering membuat Ompu Guasa gelisah meskipun adiknya mempunyai keturunan laki-laki.
Kegelisahan ompu Guasa sangan tekesan dalam batuknya. Namun selalu beliau menyembunyikan perasaan dengan mengambil salohat. Alat musik dari bambu itu selalu diselipkan di kantong baju dan dilap sesekali dengan selempangnya, sehelai ulos ragihotang. Jemarinya menekan-nekan empat lobang jenis seruling itu sampai perasaannya dapat terbenam.
“Among,” kedua putrinya sebentar menghentikan tiupannya karena mau permisi, “kami pergi dulu ke sawah. Ayah tinggal di rumah sajalah ya.”
“Ya, berangkatlah kalian!” jawabnya sebelum melekatkan alat musik itu kembali ke bibirnya. Sendirian di rumah, Ompu Guasa nampaknya akan lebih leluasa memainkan salohatnya samapi terkadang seperti ratapan. Ratapannya memang menjadi tersimpan rapi dalam permainan alat musik itu. Beliau tidak pernah mampu meratap dengan andung karena tidak pintar berkata-kata.
Belum tuntas semua kegelisahan, kedua putrinya tiba-tiba kembali ke rumah. Mereka terusik dan tak tahan di tengah jalan mendengar senandung seorang gembala. Sebenarnya mereka ingin meneruskan langkah sampai ke sawah. Namun hati Siboru Tumbaga langsung seperti disayat sembilu setelah mendengar senandung itu.
“Kenapa kalian kembali tiba-tiba,boruku?” dilihatnya sedikit rasa cemas di wajah putri sulungnya Siboru Tumbaga. Demikian pada wajah Siboru Buntulan, adik satu-satunya Siboru Tumbaga.
“Begini among. Kami sangat berharap agar ayah segeralah menikah lagi,” tandas Siboru tumbaga. Ompu Guasa menduga kalau kegelisahannya selama ini mengalir dalam permintaan kedua putrinya itu. Namun beliau masih mencoba menolak.
“Mana mungkin aku dapat menikah lagi setua ini. Mataku pun sudah mulai rabun. Perempuan mana lagi yang bersedia dapat kuperistri, wahai putriku? Sudahlah! Biarlah kuterima nasibku.”
“Kumohonkan, among. Jangan lagi menolak permintaan ini. Tadi sebelum mendadak kembali ke rumah ini, ada seorang gembala melantunkan lagu bergini: Duhai, perahu di tengah danau! Andai dayungmu patah, kemana gerangan engkau hanyut? Wahai, sang putri yang gemulai. Andai ayahanda mati, kemana gerangan engkau berpaut! Begitulah yang kami tangkap, among!”
“Sudahlah. Kalau takdir pada badan sudah begini diberikan Sang Mukajadi Nabolon, aku tetap bisa menerimanya.” Entah kesekian kalinya Ompu guasa mencetuskan perkataan itu di hadapan kedua putrinya. Namun kerena Siboru Tumbaga tetap mendesakkan permintaan, akhirnya Ompu guasa bersedia. “Kalau begitu terserahmulah, Boru Tumbaga kalau aku harus menikah lagi. Lakukanlah apa yang bisa engkau lakukan.”
Mendengar perkataan terakhir itu, Siboru Tumbaga tergerak untuk berangkat ke Barus. Di Barus ada seorang dukun bernama Datu Partungkot Bosi. Sang dukun sudah lama terkenal dengan berbagai keahliannya untuk meramalkan sesuatu. Datu Partungkot Bosi juga ahli tersohor di wilayah barat negeri yang menguasai debata ni parmanukon, semacam peta baik-buruk untuk sesuatu yang direncanakan. Dari desa Sisuga-suga ke Barus akan melalui hutan dan tempat-tempat berbahaya bagi kaum perempuan. Kemudian Siboru Tumbaga melakukan penyamaran seperti lelaki. Dipilihnya salah satu pakaian dari lemari ayahnya dan dilengkapi dengan topi. Satu lagi dia tidak lupa menggunakan kumis palsu. Sampai kebetulan ketemu di tengah hutan dengan Datu Partungkot Bosi, Siboru Tumbaga selalu berusaha menciptakan gerak-gerik menyerupai seorang laki-laki suruhan. Terkadang dia ketakutan juga dengan penaymarannya.
“Bah, lae! Kenapa kau ketakutan melihatku?” tiba-tiba dari seorang lelaki dihadapannya. “Kita tidak kebetulan sama-sama manusia juga di tengah hutan ini. Kenapa engkau kelihatan takut?”
“Kuucapkan salam kepadamu, lae. Horas!” Balas Siboru Tumbaga ambil berusaha menirukan suara lelaki. “Kebetulan aku hendak ke negeri Barus menemui Datu Partungkot Bosi.”
“Kuharap kau jangan berpura-pura tidak mengenalku. Akulah Datu Partungkot Bosi. Lalu kenapa engkau memerlukanku?” Siboru Tumbaga sempat tidak percaya kalau yang dijumpa di tengah hutan itu adalah Datu Partungkot Bosi. Namun dengan melihat tampangnya yang serupa dengan cerita Ompu Guasa, Siboru Tumbaga mengakui dirinya sebagai suruhan Ompu Guasa. Rupanya Ompu guasa adalah sahabat lama Datu Partungkot Bosi.
Datu Partungkot Bosi tidak begitu sulit menduga hal-hal baik dan buruk melalu debata parmanukon. Datu Partungkot Bosi benar-benar melihat tanda ajal dari sahabat lamanya itu. Lalu disarankan kepada Siboru Tumbaga gar melarang Ompu Guasa ke luar rumah dalam waktu seminggu. Namun karena Ompu Guasa suatu hari berkeras mau memeriksa awah dan hewan peliharaannya, ramalan Datu Partungkot Bosi itupun terjadilah. Beberapa orang penduduk yagn melihatnya tergelincir di pinggir sawah tergesa-gesa memberi kabar kepada kedua putri yang sedang membersihkan sekeliling rumah. Namun sampai di rumah nampaknya Ompu guasa tidak lama lagi menghembuskan nafas terakhir sebelum menyampaikan pesannya.
“Boru Tumbaga dan Boru Buntulan, simpanlah barang-barang berharga untuk kalian berdua. Bayangan ibumu sudah sangat dekat untuk men…jem…putttku.”
pilu yang sangat mendalam akhirnya memperkuat tangisan Siboru Tumbaga dan Siboru Buntulan. Ditambah lagi ratapan dari beberapa orang di dalam rumah, penduduk lain desa Sisuga-suga bergegas menuju arah tangisan. Saru-satunya manusia yang menahan dirinya tidak bergegas ke sana adalah Amani Buanga. Dia baru ke sana setelah dijemput.
Melewati pintu rumah yang sedang berduka itu, Amani Buanga sengaja berpura-pura mengatakan “Bah! Apakah ayahmu ini sudah betul-betul meninggal?” Sambil diarahkanny kepada Siboru Tumbaga. “Sekarang ayahmu sudah meninggal, Boru Tumbaga dan Boru Buntulan. Di mana kalian simpan semua harta itu?” Tentu bukan saja kedua putri itu terkejut dnegan perilaku Amani Buanga. Salah seorang tetua kampung mencoba mengingatkan agar Amani Buangga berpikir duluan untuk melaksanakan adat penguburan jasad Ompu Guasa

*diambil dari cerita garapan opera batak yang pernah dipentaskan grup opera silindung (gos) di beberapa kota dari tahun 2003 sampai 2005.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapal AL Cina Tangkap Drone Bawah Laut AL Amerika

Pemerintah Belum Akan Terbitkan Surat Jaminan Pinjaman LRT

Cara membuat screenshot manual